Bismillah, was-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du
Pembaca yang dirahmati Allah, mari sejenak kita renungkan hadits berikut. Dari Abu Hurairah radhiyallahu‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sungguh akan datang suatu zaman di tengah manusia, dimana orang tidak lagi peduli terhadap harta yang dia ambil, apakah dari yang halal ataukah yang haram.” (HR. Bukhari)
Apakah zaman tersebut tengah kita jalani saat ini? Suatu zaman dimana praktek suap (suap) sudah menjadi hal yang biasa. Bahkan sudah menjadi rahasia umum, seolah menjadi syarat yang tidak tertulis yang harus dilakukan.Membenarkan yang biasa, padahal yang biasa tersebut adalah hal yang salah, bukanlah sifat seorang mukmin. Akan tetapi seorang mukmin tentu akan berusaha untuk membiasakan yang benar, hingga kebenaran itu menjadi sesuatu yang biasa dia lakukan.
Apa itu Suap?
Suap dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah suap. Para Ulama telah memberikan penjelasan terkait makna suap. Suap secara istilah adalah sesuatu yang diberikan untuk menyalahkan/menggagalkan hal yang benar atau membenarkan/mewujudkan hal yang salah. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah 22/220)
Ibnu ‘Abidin rahimahullah mengatakan, “Suap adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada hakim atau yang lainnya, agar hakim itu memutuskan perkara yang memenangkan pemberi suap atau sesuai dengan yang diinginkannya.”(Hasyiyah Ibnu ‘Abidin 5/362)
Bahaya suap
Para Ulama bersepakat bahwa suap merupakan hal yang haram dan termasuk salah satu dosa besar. Haram bagi pemberi, penerima, yang meminta, bahkan yang hanya sekedar menjadi perantara suap.
Allah ta’ala berfirman, “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram (as-suht).” (QS. al-Maidah: 42). al-Hasan dan Sa’id bin Jubair rahimahumallah mengatakan, yang dimaksud as-suht dalam ayat ini adalah suap. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah 22/221).
Allah ta’ala berfirman, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 188)
Dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu’anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Laknat Allah kepada pemberi dan penerima suap” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh al-Albani)
Dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu’anhuma, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemberi suapdan penerima suap”. (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dishahihkan oleh al-Albani)
Macam-Macam suap
Para ulama mazhab Hanafiyyah membagi suap menjadi empat bagian:
Pertama, suap supaya diangkat menjadi hakim dan pejabat (termasuk anggota legislatif, PNS, atau lainnya -pen). Hukumnya haram bagi penerima dan pemberi.
Kedua, suap untuk seorang qadhi/hakim untuk memutuskan suatu perkara. Suap ini juga haram bagi penerima dan pemberi, meskipun keputusan dari perkara tersebut adalah keputusan yang benar. Karena memutuskan perkara dengan benar adalah kewajiban seorang qadhi/hakim.
Ketiga, memberikan sejumlah harta kepada seseorang yang memiliki kewenangan dalam rangka mencegah bahaya (kezhaliman) orang tersebut atau untuk mendatangkan manfaat bagi pemberi (mendapatkan haknya). Hal yang demikian ini hukumnya haram bagi penerima saja.
Keempat, memberikan sejumlah harta kepada seseorang, selain pegawai dalam suatu qadhi/hakim, yang bisa membantu untuk mendapatkan hak. Memberi dan menerima harta semacam ini diperbolehkan. Karena harta yang diberikan adalah sebagai kompensasi atas bantuan yang diberikan sebagaimana upah untuk sebuah pekerjaan. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah 22/222-223)
Bertaubat dari praktek suap
Bertaubat dari suap adalah sebagaimana bertaubat dari dosa yang lain yaitu,
1- Ikhlas karena Allah ta’ala,
2- Berpaling dari perbuatan dosa yang dilakukan.
3- Menyesali perbuatan dosa tersebut.
4- Berazam untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut.
5- Bagi penerima suap, mengembalikan suap kepada pemberi suap.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, terkait orang yang bertaubat dari mengambil harta yang bukan haknya, “Apabila diketahui pemiliknya maka dikembalikan kepadanya, apabila tidak diketahui maka diberikan untuk kemaslahatan kaum muslimin.” (Kasyaf al-Qana’ 6/317)
Bagaimana dengan pekerjaan yang diperoleh dengan hasil suap?
Syaikh Shalih al-Munajjid hafizhahullah pernah ditanya tentang masalah tersebut. Jawaban beliau,“Jika pegawai ini telah bertaubat kepada Allah, dan telah menyedekahkan sebagian hartanya, maka tidak masalah dia tetap menjalani pekerjaannya tersebut. Dengan syarat, pegawai ini memiliki kemampuan yang memadai terkait pekerjaannya tersebut. Karena melaksanakan pekerjaan, sementara dia tidak memiliki kemampuan dalam pekerjaan tersebut adalah bentuk khianat terhadap amanah. Dampak buruknya bisa menimpa banyak orang.” (islamqa.info/ar/112128)
Penutup
Pembaca yang dirahmati Allah, permasalahan mencari rizki adalah sebuah permasalahan yang akan terus menemani manusia selama hidupnya. Telah kita ketahui bersama, bahwa kematian tidak akan menjemput seseorang hingga ia menghabiskan jatah rizkinya.Sedangkan dalam mencari rizki, kita diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah dan mencari rizki yang halal. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian tidak akan mati sampai sempurna jatah rizkinya, karena itu, jangan kalian merasa rizki kalian terhambat dan bertakwalah kepada Allah, wahai sekalian manusia. Carilah rizki dengan baik, ambil yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Baihaqi, dishahihkan oleh Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi).
Sebagai seorang yang beriman, yang menyadari bahwa rizki itu telah ditetapkan oleh ar-Razzaq, tentu akan mencari rizki melalui jalan yang halal. Karena hal tersebut akan membawanya kepada ridha-Nya. Ia pun mengetahui bahwa jalan yang haram tidak akan menambah jatah rizkinya, justru membawanya kepada murka-Nya.
Akhir kata, Semoga Allah ta’ala memberikan petunjuk kepada para pemimpin serta para pengemban amanah di negeri ini untuk berjalan di atas al-Quran dan as-Sunnah.Semoga Allah juga memberikan taufiq kepada kita untuk mencukupkan diri dengan apa yang dihalalkan dan menjauhkan kita dari apa yang diharamkan.Aamiin.
Penulis: Muhammad Oksa, S.Si.
Murajaah: Ustadz Ammi Nur Baits
Suplemen tambahan
Hukum Menerima Tips ketika melakukan pekerjaan
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan hal ini dalam fatwanya. Beliau mengatakan,
“Hadiah bagi pekerja termasuk ghulul (pengkhianatan) yaitu jika seseorang sebagai pegawai pemerintahan, dia diberi hadiah oleh seseorang yang berkaitan dengan pekerjaannya. Hadiah semacam ini termasuk pengkhianatan (ghulul). Hadiah seperti ini tidak boleh diambil sedikit pun oleh pekerja tadi walaupun dia menganggapnya baik.”
Lalu Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan lagi, “Tidak boleh bagi seorang pegawai di wilayah pemerintahan menerima hadiah berkaitan dengan pekerjaannya. Seandainya kita membolehkan hal ini, maka akan terbukalah pintu riswah (suap/sogok). Uang sogok amatlah berbahaya dan termasuk dosa besar (karena ada hukuman yang disebutkan dalam hadits tadi, pen). Oleh karena itu, wajib bagi setiap pegawai jika dia diberi hadiah yang berkaitan dengan pekerjaannya, maka hendaklah dia mengembalikan hadiah tersebut. Hadiah semacam ini tidak boleh dia terima. Baik dinamakan hadiah, shodaqoh, dan zakat, tetap tidak boleh diterima. Lebih-lebih lagi jika dia adalah orang yang mampu, zakat tidak boleh bagi dirinya sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama.”
Mengapa Dikatakan Khianat?
Hadiah bagi pekerja atau pejabat yang di mana hadiah tersebut berkaitan dengan pekerjaannya (seandainya ia bukan pejabat, tentu saja tidak akan diberi parsel atau hadiah semacam itu), ini bisa dikatakan khianat, dapat kita lihat dalam penjelasan berikut ini. Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah disebutkan,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menerima hadiah (sebagaimana layaknya hadiah untuk penguasa/pejabat). Perlu diketahui bahwa hadiah ini karena menjadi kekhususan pada beliau. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ma’shum, beliau bisa menghindarkan diri dari hal terlarang berbeda dengan orang lain (termasuk dalam hadiah tadi, tidak mungkin dengan hadiah tersebut beliau berbuat curang atau khianat, pen). Lantas ketika ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengembalikan hadiah (sebagaimana hadiah untuk pejabat), beliau tidak mau menerimanya. Lantas ada yang mengatakan pada ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah menerima hadiah semacam itu!” ‘Umar pun memberikan jawaban yang sangat mantap, “Bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa jadi itu hadiah. Namun bagi kita itu adalah suap. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan hadiah semacam itu lebih tepat karena kedudukan beliau sebagai nabi, bukan karena jabatan beliau sebagai penguasa. Sedangkan kita mendapatkan hadiah semacam itu karena jabatan kita.”[8]
Kami rasa sudah jelas mengapa hadiah semacam parsel bagi pejabat dan uang tip bagi karyawan yang kaitannya dengan pekerjaannya, itu dikatakan khianat. Jelas sekali bahwa uang tip atau hadiah semacamm tadi diberikan karena kaitannya dengan pekerjaan dia sebagai pejabat, karyawan atau pekerja. Seandainya bukan demikian, tentu ia tidak diberikan hadiah semacam itu. Seandainya ia hanya duduk-duduk di rumahnya, bukan sebagai pekerja atau pejabat, tentu ia tidak mendapatkan bingkisan istimewa seperti parsel dan uang tip tadi. Inilah yang namanya khianat, karena ia telah mengkhianati atasannya. Inilah jalan menuju suap yang sesungguhnya. Inilah suap terselubung. Orang yang memberi hadiah semacam tadi, tidak menutup kemungkinan ia punya maksud tertentu. Barangkali ia berikan hadiah agar jika ingin mengurus apa-apa lewat pejabat akan semakin mudah, semakin cepat di-ACC dan sebagainya. Inilah sekali lagi suap terselubung di balik pemberian bingkisan.
Penulis: Ustaz M. Abduh Tuasikal, ST., M.Sc.